TRANSFORMASI PELEMBAGAAN CSR: PRAKTIK BAIK DAN TANTANGANNYA

Satu dekade praktik dunia usaha dalam mewujudkan tanggung jawab sosial telah membawa banyak perubahan, baik di internal organisasi maupun di masyarakat. Banyak pembelajaran (lesson learned) dari praktik tersebut yang menunjukkan transformasi dunia usaha untuk tidak semata mengejar keuntungan dari bisnis mereka, tetapi juga berperan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat ini menjadi best practice implementasi corporate social responsibility /CSR. Di samping praktik baik, tentu ada catatan kritis yang menjadi tantangan untuk terus melakukan perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement).

Sumber Gambar dari SINI

Praktik baik pertama terkonfirmasi saat community development/ comdev (pengembangan masyarakat) telah menjadi perhatian serius  sebagai salah satu bagian utama dalam CSR.  Comdev bisa berarti pendekatan dan fokus program. Sebagai fokus program berarti jenis CSR yang ditujukan pada masyarakat  di luar perusahaan, khususnya pada mereka yang marjinal. Sebagai pendekatan, Comdev berarti fasilitasi oleh perusahaan dalam program CSR harus mampu membangun gerakan kolektif masyarakat yang mampu memecahkan permasalahan mereka dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain.

Kedua, sistem atau tatakelola CSR yang  semakin baik. Tatakelola yang baik  merupakan syarat agar dapat merumuskan program-program CSR yang berbasis pada potensi lokal untuk pemberdayaan masyarakat. Pembenahan sistem ini dimulai dengan pembentukan unit atau struktur khusus yang memiliki tanggung jawab utama mengelola CSR. Sebelumnya, beberapa perusahaan masih menganggap urusan CSR bisa dilakukan sebagai tugas sambilan (additional job) oleh siapapun staf. Tetapi, perusahaan belajar jika cara seperti ini menghasilkan model CSR layaknya pemadam kebakaran, menunggu dan merespon usulan/proposal program dari masyarakat.  Oleh karena itulah, perusahaan membentuk  unit khusus yang diisi dengan orang-orang  yang memiliki kompetensi tentang CSR dengan dukungan peningkatan kapasitas (capacity building) agar dapat terus mampu meningkatkan kinerjanya.

Ketiga, perubahan kinerja pengelolaan CSR nampak dari berjalannya sistem perencanaan, pelaksanaan,  monitoring dan evaluasi.  Pemetaan sosial (social mapping) telah menjadi salah satu tahapan dalam perencanaan program. Dengan dukungan data yang akurat dan komprehensif, perusahaan mampu merancang program yang menjawab kebutuhan dan masalah masyarakat, berbasis pada potensi lokal. Hasil pemetaan sosial dikombinasikan dengan dokumen perencanaan pembangunan milik pemerintah (RPJMD, RPJMDes, dan lain-lain), sehingga program CSR mampu terintegrasi dengan program pemerintah. Dunia usaha telah menyadari jika kemitraan multistakeholder akan memperkuat dan mempercepat capaian program.

Keempat, keberadaan unit khusus yang diisi orang yang kompeten mampu mengubah orientasi pilihan jenis program yang sebelumnya banyak didominasi karitatif, tahap demi tahap bergeser ke jenis pemberdayaan. Dunia usaha menyadari bahwa modelpemberian bantuan atau donasi yang terus-menerus akhirnya justru menjadi bantuan yang mematikan, mematikan kreativitas masyarakat, membentuk karakter manusia yang suka meminta.  Program pemberdayaan lebih bersifat berkelanjutan karena perusahaan memfasilitasi pengembangan potensi lokal sampai mereka mandiri untuk mendukung penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood). Jika suatu saat perusahaan tutup, maka masyarakat tetap dapat hidup terus karena kehidupan mereka bukan ditopang dari perusahaan, melainkan dari sumber daya setempat.

Kelima, dunia usaha mampu mengembangkan bentuk CSR yang dikaitkan dengan proses produksinya. Model ini dikenal dengan Creating Shared Value/CSV (mewujudkan nilai bersama) yang  diartikan sebagai kebijakan dan praktik dunia usaha yang meningkatkan daya saingnya sekaligus memajukan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar tempat mereka beroperasi.  Pilihan program CSR memanfaatkan potensi setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus  program tersebut mampu memberi kontribusi terhadap keberlangsungan perusahaan, bisa dari sisi ketersediaan bahan baku, memperluas pasar, dan lain-lainnya.

Di samping catatan positif tersebut, terdapat pula catatan kritis atas praktik CSR sebagai bahan refleksi. Pertama, rekognisi atau akuisisi?. Berdasar pemetaan sosial, perusahaan dapat merancang program baru atau mengembangkan aktivitas yang sudah dimulai oleh warga. Pilihan mengembangkan yang sudah ada berarti rekognisi atau mengakui/menghargai inisiatif masyarakat sehingga  tidak terjebak pada pola pikir harus program yang murni/asli diinisiasi perusahaan. Tetapi, cara ini bisa terjadi sebaliknya, bukan rekognisi melainkan akuisisi. Program Comdev hasil swadaya masyarakat, telah berhasil baik, diakui/diakuisisi  sebagai program perusahaan. Sebenarnya, tanpa kehadiran perusahaan pun, program itu sudah sukses, justru perusahaan menunggangi kesuksesan tersebut. Cara mudah membedakan rekognisi atau akuisisi dengan menilai sebelum atau sesudah kehadiran perusahaan. Idealnya, fasilitasi perusahaan ditujukan pada inisiatif warga yang berjalan lamban,  setelah perusahaan masuk maka dapat berkembang dengan pesat.

Kedua, siapa yang berperan? Untuk mengisi unit khusus dengan orang yang kompeten, beberapa perusahaan merekrut  tenaga kontrak yang berperan sebagai community development officer/CDO untuk mengawal program CSR. Kehadiran CDO ini mampu mengoperasionalkan perubahan orientasi perusahaan untuk menghasilkan program CSR yang partisipatif,   mewujudkan kemandirian dan menghasilkan kesejahteraan. Tetapi, tidak terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman tenaga kontrak ini kepada staf organik. Jika proyek fisik seperti pembuatan kantor baru disubkontrakkan pada pihak di luar perusahaan, hal ini bisa diterima. Tetapi, menyerahkan realisasi CSR pada pihak lain, dengan keterlibatan minimalis dari staf organik, tidak bisa diterima. CSR merupakan aktivitas kemanusiaan, proses interaksi aktif (engagement) antara staf organik perusahaan dengan masyarakat sangat penting, tidak sebatas orientasi pada hasil akhir semata.

Tumbuh berkembang bersama masyarakat dan semua stakeholder merupakan komitmen yang harus dimiliki oleh dunia usaha. Pengalaman telah membuktikan kontribusi nyata mereka dalam pengembangan masyarakat. Bersama  pihak-pihak lain dengan berbagai sumberdayanya, jika bisa dipadukan akan menjadi energi yang besar untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Krisdyatmiko

Ketua Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

.

.

Disajikan ulang oleh: 

JOKO SETIAWAN, S.ST.

A Social Worker and A Community Development Officer, Penugasan di PT. Pertamina (Persero) Marketing Operation Region (MOR) VI DPPU Sepinggan Group, Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur-INDONESIA.

Diposting pada hari Jum’at, 10 Desember 2020 di Kota Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.